Masyarakat Madani
konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam
ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara
festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh
Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah
kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial
yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi.
Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang
terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1)
Masyarakat Saba’,
yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2)
Masyarakat Madinah
setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta
Umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan
kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk
agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Karakteristik
Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani,
diantaranya:
1.
Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok
ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya
kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya
program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program
pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya
kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya
pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
8. Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya
masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok
menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong
tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
11. Toleran,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban
tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak
mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan
bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para
anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat
dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan
peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan
program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani
bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted.
Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang
panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di
negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka
ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani,
yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan
berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang
sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh
prasyarat masyarakat madani sbb:
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang
menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan
semangat negara-bangsa:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan
kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal
sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan
tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar
kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang
pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan
sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat
dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu
kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat
serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan
lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan
berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara
jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan
komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya
ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme.
Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang
mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme,
meritokrasi dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada
saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan
kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka
mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang
berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk
memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti
kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan,
pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang
membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya.
Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas
secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi
ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada
tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada
tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan
perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara
struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial
memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga
lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada
pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan
kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki
kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang
lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang
ada dalam masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar